bapakmu yang dulu calon mertuaku
pernah melarang engkau
merangkai senja, menghadang kelam malam, mengelus gigil embun bersamaku.
selalu
menjaga engkau dari duka masa depan suram buram bila hidup
bertahuntahun denganku.
bapakmu yang iba lalu jadi
mertuaku
dan kita merangkai senja berduri saat kelam malam datang
menyungkup hati, mereguk embun serupa jarum.
menyatukan cinta satu
bahtera tanpa menghitung ganas badai samudera.
ini
salahmu, sayang
bapakmu benar adanya bila sekarang ingin jadi
mantan mertuaku saja.
gubuk derita, 12/02/2012
(saat
hidup tak cukup dengan cinta saja)
Selasa, 29 Mei 2012
BAYANG SEROJA
Berjuta pagi seusai
mimpi, kepulan asap kopi dan rokok bersepakat membayang sebentuk
kembang. Kelopak berwarna pastel lembut menyentuh kenangan. Teringat
pesanmu di kala musim masih wangi, “Jika kaulihat kepulan asap, kopi
pun rokok, ingatlah aku sebagai Seroja penghias mimpi.” Selalu kepulan
asap membayang pesanmu, lalu aku selama setengah jam lebih beberapa
menit akan menikmatinya dalam kedip sekali dua. Seroja mewakili hadirmu
di setiap pagi. Penyemangat menantang matahari, pelipur lara sengitnya
hari-hari.
Tak pagi ini.
Kepulan asap kopi dan rokok bersepakat tak membayang sebentuk apa. Segenap imaji kukerahkan melukis kelopak berwarna pastel lembut. Kenangan bergeming pada debar jantung yang biasa. Pasi embun basi jatuh selayak pagi di rerumput. Terlalu biasa pagi ini. Tak Seroja, tak pula kembang apa. Kepulan asap perlahan pergi, menggamit matahari berlalu ke balik gumpal mega. Asa memucat pada kelumun sarung, sebatang rokok dan secangkir kopi.
Bengkulu, 22 Januari 2012
Tak pagi ini.
Kepulan asap kopi dan rokok bersepakat tak membayang sebentuk apa. Segenap imaji kukerahkan melukis kelopak berwarna pastel lembut. Kenangan bergeming pada debar jantung yang biasa. Pasi embun basi jatuh selayak pagi di rerumput. Terlalu biasa pagi ini. Tak Seroja, tak pula kembang apa. Kepulan asap perlahan pergi, menggamit matahari berlalu ke balik gumpal mega. Asa memucat pada kelumun sarung, sebatang rokok dan secangkir kopi.
Bengkulu, 22 Januari 2012
MATAHARI REMBULAN
matahari itu rembulan
siang, dinda
mengiring langkah sedari purba
menyengat lembab belantara luka
senyum di lengan prahara
rembulan itu matahari malam, dinda
menjaga mimpi sebagai asa
menampung selawat doa-doa
senyum di temaram cinta
matahari rembulan, rembulan matahari
sepasang kekasih yang merindu pertemuan kala senja menepi
ataukah
sepasang seteru yang berebut wangi aroma embun pagi?
entahlah
Bengkulu, 13 Februari 2012
mengiring langkah sedari purba
menyengat lembab belantara luka
senyum di lengan prahara
rembulan itu matahari malam, dinda
menjaga mimpi sebagai asa
menampung selawat doa-doa
senyum di temaram cinta
matahari rembulan, rembulan matahari
sepasang kekasih yang merindu pertemuan kala senja menepi
ataukah
sepasang seteru yang berebut wangi aroma embun pagi?
entahlah
Bengkulu, 13 Februari 2012
ANDUNG
malam selalu tersenyum dalam sejuta pesan
cerlang cahya bintang petunjuk kafilah setampuk pinang
dalam kalam kalam
kalam dalam dalam
telunjuk tersuruk pada fatwa
laksana pujangga menggumuli aksara
singkirkan lumpur di kilau permata
tabikku sempurna jura
Bengkulu, 13 Februari 2012
cerlang cahya bintang petunjuk kafilah setampuk pinang
dalam kalam kalam
kalam dalam dalam
telunjuk tersuruk pada fatwa
laksana pujangga menggumuli aksara
singkirkan lumpur di kilau permata
tabikku sempurna jura
Bengkulu, 13 Februari 2012
TENTANG CAHAYA ITU
Aku tak ingin, sungguh sebenar tak ingin
meninggalkanmu bersendiri di bilik gigil
menggapai cahaya yang berpijar benderang
di sebalik jendela berkaca tipis
Aku sebenar ingin, sungguh
mengajakmu serta dalam lawatan panjang ini
menyeret langkah ke arah terang yang sama
di luar sana, meski bekal tak pada
Namun ini riwayat tak sebatas inginku atau tidak
buku-buku menuntun serupa rambu samar
terhalang kabut ambigu atau segumpal lemak dalam tengkorak
aku masih ragu menyertakanmu
Cahaya itu begitu pendar, benarkah itu tuju?
atau sekadar suar agar kesesatan tak mendera
atau suluh pelawat terdahulu yang tertancap sembarang
atau seberkas entah?
Bengkulu, 19 April 2012
meninggalkanmu bersendiri di bilik gigil
menggapai cahaya yang berpijar benderang
di sebalik jendela berkaca tipis
Aku sebenar ingin, sungguh
mengajakmu serta dalam lawatan panjang ini
menyeret langkah ke arah terang yang sama
di luar sana, meski bekal tak pada
Namun ini riwayat tak sebatas inginku atau tidak
buku-buku menuntun serupa rambu samar
terhalang kabut ambigu atau segumpal lemak dalam tengkorak
aku masih ragu menyertakanmu
Cahaya itu begitu pendar, benarkah itu tuju?
atau sekadar suar agar kesesatan tak mendera
atau suluh pelawat terdahulu yang tertancap sembarang
atau seberkas entah?
Bengkulu, 19 April 2012
PUISI INI
Otakku kosong menghampa
Serupa ruang sunyi yang dibelit sepi dalam senyap
Ya. Hampa tanpa gravitasi, hanya sepotong puisi melayang-layang di dalamnya
Puisi lawas yang entah kapan menemukan titik
Puisi tentangmu
Hatiku lengang mencekam
Serupa hamparan nisan yang ditikam diam dalam kelam
Ya. Mencekam tanpa bebunyian, hanya sebait puisi meronta-ronta di dalamnya
Puisi usang yang entah kapan mencapai alamat
Puisi untukmu
Kecintaan pada semua tentangmu sungguh menggilakanku
Keinginan menyerahkan segala-galanya kepadamu terlalu menghantuiku
Ya. Kegilaan ini telah terlanjur menghantui diri
Ketakutan bersebab itu pula yang melahirkan puisi
Puisi ini
Bengkulu, 21 April 2012
Serupa ruang sunyi yang dibelit sepi dalam senyap
Ya. Hampa tanpa gravitasi, hanya sepotong puisi melayang-layang di dalamnya
Puisi lawas yang entah kapan menemukan titik
Puisi tentangmu
Hatiku lengang mencekam
Serupa hamparan nisan yang ditikam diam dalam kelam
Ya. Mencekam tanpa bebunyian, hanya sebait puisi meronta-ronta di dalamnya
Puisi usang yang entah kapan mencapai alamat
Puisi untukmu
Kecintaan pada semua tentangmu sungguh menggilakanku
Keinginan menyerahkan segala-galanya kepadamu terlalu menghantuiku
Ya. Kegilaan ini telah terlanjur menghantui diri
Ketakutan bersebab itu pula yang melahirkan puisi
Puisi ini
Bengkulu, 21 April 2012
SETIAKU SUNYI
Bukan hanya sehari
kutulis wajahmu
dengan rinai sore yang meninggalkan jejak lubang
kecil serupa bekas jerawat
sekilasmu hanya sepi. aksara sesat di
pekat tanpa rambu
lalu hujan menegaskan keterpakuan sekujurku.
gairah dan gelisah berlomba,
melindas sudut bibir.
Setiaku
sunyi
Bukan hanya sehari kutulis wajahmu
dengan desau
kemarau yang mengeringkan tinta di telaga sepi kasih
sekilasmu hanya
sepi. aksara mencari rona di pias semesta
lalu terik menegaskan
kitab sengkarutku. gairah dan gelisah berpacu,
menghantam dinding
kalbu.
Kutulis samudra di wajahmu, kekasih
Bengkulu,
29 Mei 2012
TATKALA TUHAN SINGGAH DI KAMAR MANDI
lagi dan lagi
tumpahan itu menggenang. saat ruah nafsu purba
mencipta bercak noda
di sebongkah tanah yang darah. sedang aku
telah tak sanggup
berenang tenang
kamar mandi riuh perbincangan kembang.
khusyuk membuihkan
gemawan dan mendekap awangawang dalam pelukan.
aku gamang:
berselingkuh dengan telunjuk atau segenggam iman
o, pabila salik berkhalwat di kamar mandi. lagi dan lagi
tumpahan
itu akan menggenangi seruang lumut beludru. sedang aku
telah tak
sanggup mengikis bercak
Bengkulu, 27 Mei 2012
KUCING
dua kucing bermain
kucing-kucingan: kita
aku coba sembunyi di balik juntai jubah
engkau coba sembunyi di balik hijab lapis dua
mulai menghitung mundur dari lima
aku menahan napas dalam gairah
mendera
sedang engkau pejamkan mata dalam gamang batas norma
permainan ini mesti terus rahasia
bisa celaka jika ada yang turut
serta
atau membuka selubung kita
mari main kucing-kucingan
sampai lelah
atau baiknya kita saling terkam saja?
Bengkulu, Januari-Mei 2012
MENULIS KECOAK
aku teringat bang
saut mengajar puisi
tulis, katanya, tulis!
maka saat ada kecoak bunting lewat, kutulis
beberapa tanya di tubuh
dan sayap dan kakikakinya
tentang siapa bapak dari kebusukan yang
sedang dikandung
di got mana ia bercinta
sisa nafsu siapa yang
dimakan
terus saja kutulis kecoak bunting
dengan setumpuk
tanya
tentang akan dibawa kemana kebusukan yang tinggal nunggu
hari meletus
tentang apakah ia pernah hinggap di sajadah masjid
lalu memindahkan kebusukan di kaki ke kening
jamaah
kecoak
bunting berlalu, aku masih menulis
menulis
kebusukan tak ada
tamatnya
Bengkulu, 22 Mei 2012
MASTUR BASI
Mastur melenggang ke
kota,
membawa segudang mimpi dan selembar ijazah
merayu
perusahaan asing dengan rayuan pulau kelapa
menelanjangi diri mempertontonkan kemaluannya, mastur diterima
Malu memegang gagang pacul sendiri yang kekecilan,
mastur mencoba
peruntungan dengan gagang yang lumayan besar
katanya, katanya,
punya asing jauh lebih besar
maka mulailah mastur bekerja
Meraba hutan lebat di sekitar selangkangan pertiwi
penuh gairah,
tak peduli pertiwi meronta tak sudi
mastur beraksi, memperkosa
sesuka hati
sayangnya bukan mastur yang ejakulasi
Bertahun
memperkosa pertiwi, mastur nyalon jadi bupati
menebar janji ke sana
ke mari demi terpenuhi segala ambisi
sayang seribu kali sayang,
jangankan dipilih, mastur malah disoraki:
"mastur basi! mastur
basi!"
2012
*) puisi ini dapat penghargaan di grup FB Penyair Freestyler
BUKAN BELAHAN JIWA
Ada yang disebut
suratan, aku tak begitu mengerti
tetapi pabila engkau bukan belahan
jiwa
adalah kenyataan yang kusyukuri
Bukan salah catatan silam, bukan kelam cahya kasih
tetapi pabila
engkau belahan jiwa
tentulah segan aku mengimami
Kebersamaan ini adalah hadiah terindah
mengayuh sampan dengan
semangat mencinta
walau engkau bukan belahan jiwa
Bengkulu,
17 Mei 2012
LAWANG
Menangkap cahaya
yang mbersit dari satu-satunya pintu bersama,
aku dikepung tudingan
tlah hilang gairah
Berpulanglah sangka ke masing-masing dada saja,
itu cahaya selarik dian bagi kelam atau remangku
Hidup tetap
menyumpalkan sajak-sajak pintu pada gendang telinga yang diam tanda iya,
maka kudiamkan
Lalu tabik dengan senyum tersungging,
kupetik
pula kelopak hikmah dari demam panjang ini
Ruang gigil dipenuhi
wajah itu-itu saja,
wajar pandangku paku
Pintu itu, Sayang
...
Membayang serupa kitab membentang,
terus kueja
terbata-bata mencari jawab:
Siapa yang lebih dahulu khatam?
Bengkulu, 11 Mei 2012
SELEPAS DASAWARSA
gerobak sarat hasrat
melindas lapuk kelopak hati
di remang sore menggamit angin rebah
lemah
merebah panji-panji luhur peninggalan leluhur
kanak-kanak telah terhukum oleh bibir nista orang-orangan sawah
sementara pipit dan belut berebut sekerat lahan sekarat
huma tiris
atap, meratap di rindang rumpun bambu
emak sedang khusyuk
menyulam isak di cabik kelambu usang
saat bapak meradang di simpang
tiga, menghunus parang
membeli luka
o, roda hasrat ...
apakah henti hanya bersebab ganjal tubuh-tubuh belia?
compang-camping disandang ke perhelatan tetangga
adalah sosok yang
menyelipkan getir senyum di amplop putih tanpa alamat
pesta demi
pesta menyajikan air garam semata
hingga tiada akan lesap dahaga
berkepanjangan
aku gila di tengah malam buta
tatkala warga
melelapkan kewarasan mereka,
kutertawai bara yang menyimpan tanya:
siapa tuan rumah empunya hajat?
gerobak sarat hasrat lewat di
tikungan,
angin sepoi menyeret kantuk hinggap di pelupuk
mari
kita hadiahi merdunya ninabobo untuk kemalasan ini
Bengkulu,
Mei 2012
MASIH
Tarian waktu
sepuasnya menggelombangi wajahku
Setiap liukan menyampaikan
masing-masing lagu
Lalu meletus dalam wujud sungai di mata
Kadang banjir begitu derasnya saat merindukan-Mu
Namun malam
menyimpan ketaksetiaan bintang
Kadang kerlip menyiratkan harapan
Kadang awan menyembunyikan ancaman
Lalu jatuh tanggalan menyambut
tarian baru
Aku masih mencari pengobat rindu
Bengkulu,
14 Mei 2012
TAK DAPAT DIMENGERTI
kenangan batu akik
memutar bumi di poros nyeri
dalam tembang balada gitar tua senar
lima
saat bulan penuh jadi saksi telunjuk bengkok menuding pelangi
adalah tudung saji tempat berpestanya kutu busuk dan senyum kuda betina
pintu kamar belum tertutup sempurna saat ketukan satu-satu hendak
meminjam kelambu
"mawar melati semuanya indah"
lalu yang tertawa
di pojok hati itu apakah sebentuk kecewa cinta tak sampai?
kernyit kening terlipat sia-sia, sayang ...
kitab apa saja tak akan
mampu
jelaskan ceracau seakan puisi ini;
ketika rindu menusuk
ulu hati
Bengkulu, 10 Mei 2012
LA PESONG
Ad, masihkah puisimu
berbau lalang?
Mengincar rembulan dengan pedang, lalu menusuk tanpa
koma. Musim galau, katanya, telah kaucampak di
tikungan, bukankah?
Lalu apa nama bagi wewangian yang nusuk hidung
saat serigala melolong di tumpukan bulu domba?
Ad,
mungkin bagimu aksara adalah tarian musim hujan
Datang disambut
riang anak kampung, lalu berlalu dan menitipkan demam
Masihkah? Atau
kau sedang tengadahi langit dengan sarung dan sajadah pinjaman?
2012
ANGKU YUNUS
Sepasukan pagi
menyerang lutut. Angku Yunus menebas garang dengan tongkat kepala ular.
Sarung kumal membebat pinggang. Dagu menantang panas matari. Sawah
menunggu di pasar dusun. Warung kopi.
Angku Yunus dipukul
angin. Berkali-kali di tengkuk ringkih. Batuk sekali dua meningkahi
bualan usang. Sorga dan neraka diaduk dalam secangkir kental kopi. Batuk
masih.
Matari jarum jam angka satu. Bilal telah
pulang singgahi warung. Angku Yunus sedang tertawa melepas hawa
tembakau murah. Ajakan pulang ditampik dingin. Bilal geleng-geleng
kepala. Musim terbahak.
Lantas berita gempar dibawa burung. Di
selokan ujung dusun ada yang mati dengan lidah terjulur. Sisa bualan
kopi menetes dari sudut bibir. Angku Yunus tersandung lipatan sajadah.
Matari melotot.
Bengkulu, 15 April 2012
MELUKIS PAGI
Jika masih kausungkup
matari dengan selubung senyum hambar, manatah mungkin kering lembab
pelupuk. Akan tumbuh jamur tipis serupa sutra kembang. Lalu menghitam
selingkaran dan semakin malam rona parasmu. Nian.
Andai tetap
kaugantung pendulum berkilo-kilo di segaris bibir pagi, manatah mungkin
terkecup lengkung pelangi. Akan meriak keriput halus serupa labirin
semut. Lalu menegas ber...lapis-lapis dan semakin malam rona parasmu.
Nian.
Mana pernah tersangkakan, ini matari terakhir yang genit
menyapa hari baru. Pagi terakhir dengan hangat pelukan pagi. Nian.
Kemarin adalah prasasti, sebagai sejarah yang menugu di jejak diri.
Bukan di wajah pucat pasi.
Bengkulu, 17 April 2012
ADALAH KITA
Adalah kita,
yang
mendayung sampan kehidupan lalu pusing di telaga waktu
yang menatap
kelip bintang lalu melukis khayalan dewa-dewa.
Kita sesat di telaga tak ada cahaya,
sementara
bintang
senyum-senyum penuh makna.
Adalah kita,
yang lupa singgahi
tetua desa
tempat lesatkan segala tanya demi sebingkis jawaban
dan kita telah pula terlupa menghanyutkan doa-doa papa,
bukankah
bintang telah lama menghadiahi senyuman?
Adalah kita,
sebuah ketiadaan walau penuh letupan api,
tempat mimpi menyetubuhi
logika
untuk kemudian anaknya menikam dada.
Bengkulu, 8
April 2012
SETERU ABADI
Tanpa tetabuhan
genderang, kita memulai perang.
Sejak tangis pertamaku
dan
rencana-rencana busukmu terbaca,
perseteruan kita telah dimulai begitu saja.
Tanpa aba-aba, tanpa kata-kata.
Lazimnya perang dimana saja,
ada yang berdarah-darah
ada yang kalah.
Dan selalu adalah aku.
Kita adalah seteru abadi,
setiap tebasan pedangmu adalah
sobekan di dadaku.
Setiap hunjaman belatimu adalah pasti
kekalahanku.
Aku memerangimu dan kau memerangiku adalah sama.
Perseteruan abadi yang hanya henti jika aku mati adalah saat
aku
memerangimu
aku memerangiku.
Bengkulu, 14 April 2012
DALAM SELIMUT
Bukan sesaat kita
sama tersesat,
membenturkan bebal kepala
menabrakkan bingkah
dada
ke angkuh dinding dunia.
Bukan
sekejap kita sama bahagia,
menuangkan anggur sukacita
meneteskan
madu aksara
ke piala tanda jawara.
dan kita berulang
sama membaca puisi usang:
"kubuat catatan kecil tentangmu
bahwa tak seharusnya debu hinggap di lipatan baju
semestinya gerimis
menggagalkan muslihat-muslihat
agar senja nanti langit berwarna
merah jambu"
Alahai, apatah daya hamba
berpeluk selusup
angin, menggantang awan tinggi
kijang bertaring banyak menjinak di
ragamu
Aku yang tercabik ...
Pun puisi usang,
hanyut di
sungai luka dan lesap sebelum muara.
Bengkulu, 9 April 2012
MENATAP MATAHARI
Aku menjerang sunyi
di tungku pagi
selepas selimut malam membentuk onggokan di sudut
bilik
Dingin seperti enggan enyahkan beku, meski bara nyaris debu
Secangkir kopi manis jambu gagal sudah tunaikan tugas,
membakar sisa
mimpi.
Dari halaman belakang kautembak dada kiriku dengan
mulut bisa,
sontak degup serasa henti,
ah, ya, ada yang terlupa:
Anak-anak haram kita lupa kucuci.
Kaujewer telinga kananku
sambil
mengutuk satu-satu nama anggota keluarga, lalu para tetangga,
lalu seisi negara
Tanpa mukadimah, rentetan serapah yang telah
muntah
berakhir begitu saja bak film India:
Kita menangis
berdua.
Pagi-pagi serupa ini bukanlah alien di bumi kita
yang seharusnya kauculik dan hanyutkan ke laut,
atau gantung saja di
tugu taman kota.
Ada ladang tebu siap panen di luar sana,
Kekasih
ambilkan parang tebas, caping lebar
dan jika berkenan,
kuminta satu bonus:
mekar senyummu.
Bengkulu, 6 April 2012
Langganan:
Postingan (Atom)