Sabtu, 30 Juni 2012

AJARI AKU

ajari aku mengekang hari, yang lari begitu tergesa. bersama
macam-macam hawa ketidakpuasan. cuacamu murung selalu, matahari
uring-uringan. dan elang yang bernama waktu, sibuk mengasah paruh
agar tak luput mencabik lengahku

tiap pagi kupandang tanggalnya angka di dinding, yang mengajakku
teronggok di pojok khayal. terang gelap terang gelap lalu gelap kauhenti.
hanya awan yang diam, diam-diam berganti warna. sedang magma
kegelisahanku tinggal menunggu muntah

ajari aku menjahit mori, yang kususun dari benang harapan. bersama
macam-macam doa berhias sungai di kedua mata. biar kujadikan
penghangat gigil saat musim tak menentu. dan sapa sayangmu
yang mendera tak lagi jadi alasan bagi retaknya
kisah kasih kita yang abadi

Bengkulu, 29 Juni 2012

Jumat, 29 Juni 2012

KEYAKINAN YANG MENGGANGGU BOLA MATAKU

KEYAKINAN YANG MENGGANGGU BOLA MATAKU
: kepada cinta sejati

Sehabis hujan, langit menghadirkan elok pelangi
Ungu, hitam dan oranye melengkung payungi
wajahmu yang teduh

Nun, samudra membentang merah muda
Penuh rahasia dengan gelora dan kedalamannya
Camar kuning mengawal bentang awan hijau, tempat
senyummu menyaring panas matari

Warna-warni cakrawala dan seisi bumi tertangkap mataku yang bimbang
Kesepakatan manusia tentang nama warna,
tak lagi kuhirau

Aku yakin hanya pada satu warna:
putih cintaku


270612

TUNDUK SEMU

selalu, setiap ketika ...

adalah bibirku yang mengkhianati kalbu, dengan buih
menghambarkan nama-Mu pada riwayat hari
berpacu dengan putaran jarum di dinding
niscaya hanya luka-luka yang kutuai dari tiap tusukannya
perlahan membusuk dan menanah

adalah ragaku yang bergerak serupa upacara, dengan bilangan
tertib melepas wajib pada lima waktu semata
sedangkan berhalaku adalah tawanya dunia
dalam langkah dan pikir, selalu rambuku adalah angka
perlahan menyusun perkalian dahsyat yang tiada sudah

selalu, setiap ketika ...

aku tunduk pada-Mu dan begitulah, kehambaran semakin mewarnai
hubungan kita. lalu, sejengkal matahari di atas kepala,
tak lagi menggetarkan apa-apa

Bengkulu, 27 Juni 2012

Kamis, 28 Juni 2012

SAJAK SEKARAT

berjalan di atas bara adalah upacara dukaku bagi cinta
sementara helai angin masih membaca selarik puisi suci: 
"o, langit, terimalah penghambaanku"

puah! 
tentang cinta, angin tahu apa? 
akulah kembara yang bertongkat sepi
menyeret rerupa rayu, lalu menunggu ada yang datang bersimpuh, takluk

namun, tidak untuk kali ini
aku berjalan di atas bara sebagai sebentuk upacara duka bagi cinta
saat kata-kata mengambang di beranda, 
yang bersulang girang hanyalah dusta
lampu dan cahaya berebut tempat 
dan kelam jua yang jadi pemenang 
hatiku hatimu perlahan menghitam

ohai, kekasih tercinta ...
kuwariskan padamu sekerat roti isi nanah, telanlah!
sebelum detak sebenar henti


Bangkahulu, 26 Juni 2012

Rabu, 27 Juni 2012

KURASA YANG KAURASA

KURASA YANG KAURASA
(sebuah tulisan ringan seusai "merasakan" puisi ADA CERITA YANG BELUM USAI :Palestina karya Alfiah Muntaz)
Apakah kamu baru akan tersentuh apabila kemalangan itu menimpa dirimu?

Pertanyaan di atas pernah saya dengar ketika media ramai memberitakan perihal kenaikan harga BBM Premium, namun tak pernah jelas dari siapa keluar pertanyaan tersebut. Ketika itu, pertanyaan diarahkan kepada mereka yang berkoar-koar protes. Si penanya mengeluarkan semacam retorika ini, mungkin karena menuding yang protes hanya karena mereka ikut ditimpa "kemalangan" sebagai akibat kenaikan harga BBM, bagaimana jika mereka tidak memakai BBM Premium?

Ketika pertama kali membaca puisi Alfiah Muntaz, saya langsung jatuh cinta dan sontak teringat pada pertanyaan di atas.

Puisi ini jelas kelahirannya adalah sehubungan dengan Indonesian Poetry Idol (IPI) yang diselenggarakan Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), sebuah grup puisi dunia maya yang cukup aktif dan atraktif.
IPI akhir Juni 2012 mengusung sebuah tema: "Manusia dan Penderitaan", mari baca sejenak puisi Alfiah Muntaz yang saya maksud:

ADA CERITA YANG BELUM SELESAI
: Palestina

asap menggelembung
mendung mengepul sepanjang kota
setelah segar darah
memenuhi sumber-sumber air mata

tak ada lagi nyanyian puteri-puteri sion
meninabobokan bocah-bocah ketakutan
desing timah menjadi lagu
membara. mengiringi lantunan
tembakan meriam yang menikam
jauh ke dalam
: selirih pedih

memar dada
memar aqsa

sabra dan sathila mengerang
dikoyak kapak
bayi-bayi terlepas dari pelukan
perawan berlarian. diburu peluru.
sepasang bibir lebam menggumam,

doakan kami
doakan kami

tahun-tahun lewat
bermaterai perjanjian
tanah memerah b a s a h

Batu Tulis, 24 Juni 2012

Lihatlah, sekujur puisi membimbing rasa saya ke arah kedukaan dan penderitaan yang barangkali memang demikian, jika kita mengikuti pemberitaan media tentang Palestina. Penderitaan Palestina, warganya, tanahnya yang selalu basah darah dan air mata, benar adanya sebagai cerita yang belum usai, bahkan mungkin tak akan pernah usai meski telah banyak pertemuan dan perjanjian tentangnya.
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS, 17:1)

Menilik ayat di atas, sesungguhnya tanah Palestina adalah tanah yang diberkahi dan di Palestina pula banyak yang berjuang dan hidup demi Allah, mengorbankan hidup mereka atau meninggal dan dikuburkan di sana. Namun mengapa seolah penderitaan tak pernah lepas dari negeri ini? Wallahu a'lam bish shawab.

Kembali ke puisi Alfiah Muntaz, yang barangkali lahir karena disesuaikan dengan tema IPI: "Manusia dan Penderitaan", saya merasa kagum kepada penyair ini. Andai saya yang dihadapkan pada tema tersebut, barangkali saya akan menulis puisi tentang penderitaan saya, duka kehidupan saya atau tentang menderitanya saya dikarenakan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tidak demikian seorang Alfiah Muntaz! Isi kepalanya terbang ke belahan dunia sana dan hatinya bersaksi atas derita rakyat Palestina, lalu tangannya menuangkan sebuah puisi yang menampar.

Secara keseluruhan, puisi ini berhasil menghadirkan sebuah tragedi kemanusiaan berikut penderitaannya dengan bahasa puisi yang tidak bertele-tele dan di-indah-indah-kan. Sampai dengan mulus dan menggugah rasa.
Apakah kamu baru akan tersentuh apabila kemalangan itu menimpa dirimu?

Pertanyaan retoris ini akan dengan lantang dijawab seorang Alfiah Muntaz: TENTU TIDAK!


Salam,

Rizadian Adha
27/06/2012

Selasa, 26 Juni 2012

MENATING DUKA

sang lantang menerjang kusam malam
tersungkur telentang hingga pagi menjelang
pada ranting angin disangkutkannya peri musim
segala resah tiada terumbar, hanya pendar nyalang mata
sebagai suar kelekatu akan cahaya

harapan adalah setumpuk kemungkinan yang tersuruk ...

sang lantang menayang jiwa raga segagah panglima berkuda
sedang duka dihimpun rapi serupa pengantin punya rahasia

namun kala puisi menyeret ujung jubah
sang lantang berkubang isak
pada serangkai kata tentang cinta
yang entah kapan 'kan sampai

Bengkulu, 24 Juni 2012

Senin, 25 Juni 2012

TAK PERNAH TERLALU MANIS

jangan terlalu manis
ucapku, di tiap keping pagi

lalu kautambah setetes senyum purut
dan lesung pipi hilang timbul
bulan kesiangan menggenang di kelam kopi
cangkir pecah,
jam dinding setia debar

juni segera berakhir
tak pernah terlalu manis

Bengkulu, 23 Juni 2012

TIBA-TIBA JADI BEGINI SAAT SEBENARNYA BEGITU SAJA PUN TAK APA

kutatap lekat sajakmu nan serupa ayam negeri:
gemuk montok dan sesak

malam ini kesiur angin pintar masuk lewat telinga kiri
maka, tiba-tiba sahaja ingin kukuliti sajakmu
mencabut sekujur bulu tak bersisa
memburai jeroan sekehendak rasa
sehingga ngangalah ia

entah mengapa tiba-tiba jadi begini
aku menjelma makhluk pintar penguak simbol di sebalik rahsia
lalu kutelanjangi larik per larik bait per bait
sampai-sampai kau sendiri
nganga pula dibuatnya

o, pujangga ...
kutatap lekat sajakmu nan berai cabik-cabik
sedihkah dirimu melihat rupa kekasih?
bungakah dadamu menyaksi kekasih
merana ditinggal
makna?

mungkin aroma purnama bangkitkan naluri serigalaku
maka, maafkan saja jika sajakmu tiba-tiba jadi begini
saat sebenarnya begitu saja pun tak apa

Bengkulu, 3 Juni 2012

Minggu, 24 Juni 2012

PESTAKU PESTAMU

PESTAKU PESTAMU
: istri tercinta


terang bulan hilang manis,
rengek lutung kecil di pangkuanmu mengundang gelisah
perihal sepokok pisang yang masih ditunggu buah keduanya
sedang hari ini, boneka pinokio di sudut kandangku kandangmu
bertambah jua panjang hidungnya
namun masih, senyum tipismu merekah miring
menuding cermin

sepuluh tahun lebih iramaku kauiring dengan tarian selendang pelangi
warna-warni lenggokmu menguar darah dari sela pori-pori
setiap waktu berpesta duka sebagai keluarga lutung yang bahagia
: setia menunggu pokok pisang berbuah kedua

tuanku tuanmu barangkali tak acuh karena jarang dirayu
ya, sudahlah ...

mari rawat saja dua lutung kecil ini,
mencari kutu di lawang senja
menari bersama dukaku dukamu
dan si pinokio, biarlah terus memanjang hidungnya

Bengkulu, 21 Juni 2012

Rabu, 20 Juni 2012

HIJRAH

Kudapati malam mengusir bulan dengan salak anjing,
selimut awan dan tetes keringatmu. Lalu aroma bunga tanjung
menguar bersama irama lenguh. Kelambu itu melambaikan cinta,
malam terakhir yang sorga. Duhai


Sebelum menguning tanah esok pagi,
aku harus pergi. Naik angkutan umum yang sesak 

atau menunggang kuda sembrani atau bergantungan di angin
Aku harus pergi. Menjauh dari penjaramu, barangkali
ke laut atau gunung atau ke sebuah tempat yang selalu bersalju
atau entah


Tak mungkin lagi senjaku menari samba
bersama indah dosa yang kautawarkan. Episode langit telah lama
bengkalai karena desahmu sorga dan lambaian kelambu itu muara resah

Lepas aku dengan senyum lesung pipi. Minta tujuh helai rambutmu
sebagai pelerai rindu ketika malamku nanti tiada berbulan


Bengkulu, 19 Juni 2012

Selasa, 19 Juni 2012

SEPI INI

setambun bara mendidihkan langit
hingga yang bersisa hanya gelegak
sedangkan hatiku, leleh tanpa gemuruh
tak sempat mengadu pada sajadah air mata
pula laut tak lagi menerima gaduh
alun ombak dengan pasti menujumu saja,
penuh cinta

jeritan unggas laut dibawa sepoi angin
diam-diam seakan mencibiri
kesendirianku

aku tak lagi hendak mencintai langit, laut dan angin
mereka dewa-dewi yang merupa musuh
membiarkan tamanku tak tersiram hingga layu serumpun kembang
menggugah kenangan yang sempat mampu kulupakan
hanya ‘tuk sekadar menyiksaku dalam dahaga
berkepanjangan

dalam sangkar tandus sahara
kutamatkan perjalanan duka
masa lalu terhampar sebagai jejak ziarah
bau tanah dan darah kukemas sebagai hadiah senja


Bengkulu, 14 Juni 2012

AKU MENCINTAIMU, YA, KAMU!

Sebuah Opini Singkat

AKU MENCINTAIMU, YA, KAMU!

KATA nenek saya, dunia ini akan lebih asyik bila setiap orang punya warnanya masing-masing. saya mengamini kata nenek ini, makanya saat masih abg dulu saya sering memaksakan kesepakatan pada otak gadis-gadis untuk menerima apa adanya saya. begitu para gadis itu menerima saya apa adanya, mereka tak lama akan meninggalkan saya. tapi tak apa, itu lebih memuaskan daripada mereka saya tipu dengan menjadi orang lain yang sosoknya mungkin dianggap lebih sempurna.

BEGINI, saya selalu mengapresiasi penggiat seni yang merefleksikan rasa dan atau jiwanya melalui karya. baik sebagai penyampai karya orang lain maupun sebagai penghasil karya baru. pada suatu ketika (dan beberapa ketika lainnya), saya mendengarkan seorang penyanyi dengan suara merdu melagukan lagunya masbro ebiet g. ade. lagu dan syairnya begitu sampai dan ternikmati dengan baik. sayangnya, penyanyi nyaris adalah copy paste ebiet. indah memang dan seakan ebiet hadir di tempat itu. tapi, saya belum dapat menghargai si penyanyi sebagai dirinya. ya, itu tadi. karena dia tampil bukan sebagai dia melainkan sebagai peniru masbro ebiet g. ade.

TIDAK salah meniru idola se-detail mungkin karena meniru sesungguhnya adalah naluri yang manusiawi sekali. barangkali ada kepuasan tersendiri begitu dapat mewujudkan idola secara utuh ke dalam diri kita. silakan, selagi tak ada larangan. semoga saja hal ini bukan karena merasa kurang percaya dengan kemampuan dan penampilan diri sendiri sehingga berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik dengan meniru habis orang lain. menurut saya, belum tentu orang akan mencintai anda ketika bersalin menjadi orang lain yang lebih dahulu terkenal. ketika mencontek nyaris tanpa beda diri seseorang, bukankah kita hanya akan menghadirkan orang tersebut, bukan kita?

MARI mengejar cinta dengan tetap menjadi diri sendiri. seorang idola cukuplah sebagai motivator. si idola dapat terkenal dan eksis sebagai dirinya dan saya dapat pula terkenal dan eksis sebagai diri saya sendiri. cobalah, dan tunggu saja waktunya, akan ada yang datang menyalami sembari berkata, "aku mencintaimu, ya, kamu!"


salam,

Rizadian Adha
18 Juni 2012

LELANG SAJAK

menjelang bulan puasa kuperiksa gudang kata
masih bersisa tiga tumpuk sajak lama
setumpuk sajak cinta
setumpuk sajak duka
setumpuk sajak bunga

kupilah beberapa sajak
rencananya akan kulelang saja
barangkali ada peminat
dan biaya buka puasa bisa selamat

sajak pertama begini rupanya:
BUNDA

kelindan pesonamu memabukkan ayah
maka jadilah aku:
monyet kecil bergantung di tetekmu,
lalu menghapus jejak sorga di telapak
dengan ceceran sperma di rahim banyak beruk betina

Jakarta, Awal 2009

sajak BUNDA ini kulepas dengan harga sepuluh juta rupiah
harga yang pantas untuk sajak
yang ada kata sorganya

lalu sajak kedua siap lelang pula:
SESAT

seperti panji tanpa ular
seperti nahkoda tanpa kompas
seperti simpang tanpa rambu
aku sesat tanpa petunjuk neraka:
aroma vaginamu

2010
sajak ini baiknya jadi bonus saja
bagi pembeli sajak pertama
bukan karena tak indah
semata karena ada kata neraka di dalamnya

o, angin ...
sampaikan maafku pada kata
manakala kuhargai sajak-sajak demi ingin sahaja
dan tepis segala makna

baik, lelang dimulai
maafkanlah!


Bengkulu, 16 Juni 2012

Jumat, 15 Juni 2012

JUDUL YANG MENYUNDUL

JUDUL YANG MENYUNDUL
(Membaca Puisi S Riyanto Hamid)

Penyair S Riyanto Hamid lumayan banyak memajang puisinya di beberapa grup puisi dunia maya. Kali ini di salah satu grup penyair asal Palembang ini memajang puisi dengan judul MOLA HIDATIDOSA. Berawal dari membaca judul, saya tertarik untuk membaca lebih lanjut dan lebih jauh puisi ini. Berikut adalah puisi tersebut:

MOLA HIDATIDOSA

diperam setahun kurang dalam kasih sayang
yang tiada berkelang
aneka cita tersulam sudah, membajui kerinduan
yang lama telanjang
lalu haruskah hanya seuntai anggur
sebagai pelipur?

14/06/2012 di At Tauhid

Memakai judul MOLA HIDATIDOSA, penyair membawa pikiran saya mengarah ke kata DOSA. Entah mengapa kata itu yang menempel di kepala saya sehingga mempengaruhi suasana membaca puisi ini. Sebelumnya saya belum tahu bahwa MOLA HIDATIDOSA itu adalah istilah untuk penyebutan awam: HAMIL ANGGUR yaitu semacam tumor dalam rahim yang berkembang dan membuat si penderita mengira bahwa perkembangan itu adalah perkembangan janin serupa yang terjadi pada sebuah kehamilan.

Larik pertama: “diperam setahun kurang dalam kasih sayang” menyampaikan kisah sebagai pembuka tentang sebuah masa atau waktu yang kurang dari setahun. Ada kegiatan terhadap sebuah objek dalam larik ini yaitu kegiatan “memeram”. Ber-kata dasar “peram” yang berarti kurang lebih sama dengan “menyimpan” yang biasanya berlaku pada buah-buahan. Apakah objek yang diperam selama setahun kurang dalam kasih sayang? Tentu di awal ini saya belum dapat mengira apa objek tersebut. Puisi ini kemudian dilanjutkan dengan larik kedua yang menurut saya barangkali adalah lanjutan dari larik pertama yang dipenggal: “yang tiada berkelang”. Mungkin di sini “berkelang” sama maknanya dengan “berselang” sehingga saya membacanya sebagai kasih sayang tanpa adanya waktu antara (terputus).

aneka cita tersulam sudah, membajui kerinduan

Di atas adalah larik selanjutnya dari puisi S Riyanto Hamid ini. Kata “cita” memiliki arti yang bercabang lumayan banyak. Dalam puisi ini saya mengartikan cita di sini secara denotatif adalah kain sebagai bahan baju. Hal ini karena ada kata “membajui” yang kurang lebih berarti “memakaikan baju pada”. Namun karena ini adalah puisi, maka pada larik ini dapat pula saya tangkap aroma harapan, pengharapan, perasaan mendalam akan sesuatu. Harapanlah rupanya yang telah membungkus sebuah kerinduan.
Kemudian sama dengan awal tadi, larik ini dilanjutkan dengan: “yang lama telanjang”. Menurut saya yang lama telanjang di sini tentulah kerinduan pada larik sebelumnya. S Riyanto Hamid dua kali memenggal larik dengan menuliskan kelanjutannya sebagai sebuah keterangan.

Selanjutnya puisi ini diteruskan dengan:

lalu haruskah hanya seuntai anggur
sebagai pelipur?


Dua larik penutup ini adalah penutup puisi dan saya membacanya tak lain adalah satu larik yang dipenggal: “lalu haruskah hanya seuntai anggur sebagai pelipur?”
Hanya seuntai anggur sebagai pelipur tentulah cukup menimbulkan tanda tanya. Pada satu kesempatan, dilipur atau dihibur dengan seuntai anggur tentulah cukup menyenangkan terutama saat haus atau saat panas yang amat sangat. Tetapi dalam puisi ini dilekatkan kata “hanya” yang menggambarkan suasana “tidak semestinya begini”. Berarti seuntai anggur dalam puisi ini bukanlah hal atau sesuatu yang sesungguhnya diharapkan.
Puisi ini begitu singkat dan meninggalkan tanda tanya di kepala begitu usai membacanya. Hal ini saya rasakan sendiri sehingga menyundul rasa penasaran saya untuk membaca lebih lanjut. Yang pertama saya lakukan adalah mencari tahu apa arti judul puisi ini. Tidak susah, begitu mengetik di search engine langsung ditemukan artinya adalah (seperti sudah ditulis di atas): HAMIL ANGGUR. Maka dengan sendirinya pikiran saya membaca ulang puisi ini dan mendapatkan gambaran sedikit jelas tentang apa yang sebenarnya ingin dikisahkan oleh S Riyanto Hamid.

Bolehlah saya membaca puisi ini sebagai cara berbagi kesan penyair S Riyanto Hamid akan sebuah kejadian. Karena tidak memakai aku lirik, tentu puisi ini dapat saya anggap sebagai kisah saja yang pernah ditemui atau diketahui oleh penyairnya. Kisah tentang kekecewaan seorang wanita yang awalnya berbahagia karena menduga dia hamil. Berbagai harapan dan cita-cita telah dilekatkan pada kehamilan tersebut, dirawat dengan kasih sayang tanpa berselang waktu, disulamnya cita sebagai harapan atas kerinduan mendapatkan seorang bayi sebagai buah hati. Sedih dan kecewa wanita ini karena ternyata kehamilan ini hanyalah hamil anggur yang sebenarnya semacam tumor di kandungan.

Kiranya rahasia dalam puisi ini cukup cepat terbaca setelah mengetahui arti dari judulnya. Karena sedari awal kesan DOSA yang melekat di kepala saya, saya juga mengambil kesimpulan bahwa masih ada orang yang menganggap bahwa wanita yang mengalami kejadian hamil anggur ini adalah sebab dari sebuah dosanya di masa lalu.

Demikian sedikit pemahaman yang dapat saya tangkap setelah membaca puisi MOLA HIDATIDOSA karya S Riyanto Hamid. Mengenai pemahaman sebenarnya tentulah hanya penyair yang lebih paham dan bisa juga pembaca lain akan memiliki pemahaman berbeda.

Salam,

Rizadian Adha
15 Juni 2012

Rabu, 13 Juni 2012

MABUK TERAKHIR

Jenazahku duduk menggenggam segelas bir
Dari mulut membusa puisi cinta. Pelayat saling tikam ingin mengecup
"Buih yang telah lama kami tunggu"
Aroma bulan seperti brownies telat diangkat. Jendela ruang tamu
pasrah dipeluk embun yang datang terlalu gegas

Jenazahku mengangkat tangan kanan. Ini pidato terakhir
Senyap tiba-tiba seperti di-simsalabim mengunci bibir pelayat
Mereka saling tikam dalam diam
Monyet kesayanganku dengan sigap menyerahkan naskah. Dengarlah!
"Subuh nanti dari ketiakku akan menetes madu"

Pelayat sontak menangis dengan raungan bernada minor
Mereka baru sadar aku tlah mati

Bengkulu, 9 Juni 2012

Selasa, 12 Juni 2012

Foto saat Baca Puisi di PD90M

ABU-ABU

bibir bergincumu menebar tawa rancu
bahagia dan duka serupa menyatu tanpa nada
malam sumbang angin patah-patah

aku terpaku membayang kanak-kanakmu
bergaun dan main bola atau perang-perangan
sambil mendekap boneka?
lelakon serba ragu terbawa angin sumbang di malam patah-patah

jika sorga tak menerima lalu neraka menolak pula,
hendak kemana labuh jiwa?
duh!

malamku malammu tak terang berpurnama
malammu malamku tak kelam sempurna
kita terperangkap di kotak waktu
tergugu meski mengumbar tawa rancu

Bengkulu, 12 Juni 2012

Sabtu, 09 Juni 2012

Seberkas Cahaya

Esai "Pembacaan Puisi"
dapat dibaca di ((klik di sini))

SEBERKAS CAHAYA
_sebuah tulisan ringan setelah membaca SKETSA SAJAK karya Dimas Arika Mihardja*)


Pusing. Itu adalah hal pertama yang saya rasakan seusai membaca tuntas SKETSA SAJAK-nya penyair Dimas Arika Mihardja (selanjutnya ditulis DAM). Mata saya diterjang ribuan kata. Secara keseluruhan, diksi dalam SKETSA SAJAK tidaklah rumit, sederhana namun terasa dan berasa.
Awalnya saya merasa lucu, begitu banyak gaya yang dipakai oleh seorang DAM dalam bersajak. Hal ini biasanya merupakan ciri penyair pemula. Ada yang bermain-main dengan tipografi, ada yang memenggal sebuah judul untuk kemudian diurai dalam beberapa bait, ada juga yang masih kental ciri puisi lamanya.
Ternyata setelah membaca kembali, saya malah dengan gampang menangkap ciri sajaknya DAM. Menurut saya, sajak DAM mempunyai ciri pengulangan kata yang nyaris sebunyi atau mirip penulisan demi kepentingan menjaga rima. Ciri yang juga jarang dipakai penyair lain adalah memenggal judul menjadi beberapa bagian untuk kemudian diurai menjadi bait-bait yang saling berkaitan dan sama kuat.
Sajak spontan pun sajak dedikasi ditulis dengan cukup baik, hal ini membuktikan, hal apa saja bagi DAM dapat menjadi sajak bermakna. Secara keseluruhan pula, saya dapat menangkap kebiasaan DAM menulis sajak impresif berdasarkan kesan yang didapatnya akan suatu peristiwa, momen atau kesan terhadap sebuah objek apa pun itu.

Di antara sekian banyak sajak di SKETSA SAJAK ini, saya tertarik untuk membaca berulang sebuah sajak yang saya anggap sebagai “Seberkas Cahaya”. Berikut sajak tersebut:

PUISI MEKAR DI ANTARA KELOPAK MAWAR YANG MEMAR

[PUISI MEKAR)
di taman depan rumah
di antara rumput dan rumpun rimbun
berayun-ayun di ujung daun sebagai embun
lalu bersijingkat di segala serat dan urat daun
tersenyum ranum

apakah kalian cium aroma aura-Nya?

puisi mekar sebagai sayap doa
menjeritkan harap dan cemas waktu
merindu

[DI ANTARA KELOPAK MAWAR]
adakah kalian dengar nyanyian rama-rama
mengalun dari daun ke daun, berjingkrak dari kelopak
ke kelopak? nyanyian dan tariannya begitu rampak
dalam iringan rampak rebana

apakah kalian cium aroma-Nya?

bibir merah puisi itu pun membasah
dibasuh dan diasuh oleh jemari kasih sayang tak berbilang
selalu mengelombangkan irama tembang kasmaran
[YANG MEMAR]

14/11/2011


Mengapa sajak ini yang mencuat sebagai serupa seberkas cahaya bagi saya? Dalam sajak inilah DAM tampil dengan segala cirinya yang tadi telah disebut di atas. Selain itu, pesan yang tertangkap dalam sajak ini begitu jelas menunjukkan bahwa hari-hari DAM itu adalah puisi atau jika tak terlalu berlebihan, bolehlah saya sebut DAM itu puisi.

[PUISI MEKAR] demikian penggalan pertama judul sajak ini. Penggalan ini kemudian diurai sebagai bagian awal sajak. Puisi, ya hampir setiap hari di group puisi BPSM atau di nyata, DAM secara langsung atau tidak menjadi saksi bagi tumbuh kembang begitu banyak penyair dan tentu menjadi saksi pula bagi bermekarannya banyak puisi. Dalam bait pertama ini DAM menggambarkan puisi-puisi yang bermekaran tersebut:

puisi mekar sebagai sayap doa
menjeritkan harap dan cemas waktu
merindu

Lalu terselip pula yang sebenarnya merupakan harapan seorang DAM akan puisi yang hendaknya juga memancarkan aroma-Nya: “apakah kalian cium aroma aura-Nya?”
Dalam bait awal ini pula, secara teknis bersajak, DAM menampilkan cirinya yang menjaga rima dengan memilih kata yang mirip bunyi dan atau penulisan, lihatlah larik kedua sampai akhir bait:

di antara rumput dan rumpun rimbun
berayun-ayun di ujung daun sebagai embun
lalu bersijingkat di segala serat dan urat daun
tersenyum ranum

[DI ANTARA KELOPAK MAWAR] adalah penggalan kedua yang kemudian diurai tentang (masih) puisi-puisi yang tadi bermekaran tersebut membentuk nyanyian dan tarian tersendiri. Lalu mengapa disebutkan mawar? Tentu karena lengkapnya “diri” mawar jika dipakai sebagai simbol suasana tumbuh kembangnya sebuah puisi: wangi, cerah dengan warna (merah)nya dan juga berduri (sebagai simbol hati-hati dan juga penjagaan).
Bagi seorang DAM, puisi tidak dilepas begitu saja dengan tumbuh kembangnya tersebut, dengan nyanyian dan tariannya, tetapi tetap dijaganya dengan kasih sayang (terutama puisi yang mekar di BPSM). Dalam penggalan kedua ini, kembali ciri diksi mirip dan nyaris sebunyi dimunculkan demi menjaga tone sajaknya (rima disebar dengan cukup rata dan di tempat yang tepat).
Boleh dibaca dan dilihat kata-kata yang saya maksud tersebut … dan lagi-lagi, DAM menyertakan pengulangan dengan sedikit modifikasi pada larik: “apakah kalian cium aroma-Nya?”. Pengulangan ini semacam penegasan kegelisahan DAM akan puisi yang cenderung “mawar” saja hingga melupakan pesan kontemplasi.

Lalu sajak ini ditutup dengan [YANG MEMAR]. Penggalan ini berdiri sendiri dan tentu memunculkan ambigu. Bolehlah saya menerjemahkannya sebagai penutup begini: puisi yang mekar dan hanya beraroma mawar akan tumbuh tidak sehat, tentulah akan memar pada tubuhnya. Hahaha … ini hanya kesimpulan ngawur karena saya telah benar-benar pusing membaca SKETSA SAJAK yang beraneka rupa dan rasa ini. Silakan merasakan sendiri, tenggak sendiri tuaknya lalu mabuklah sendiri.

Salam.

Rizadian Adha

24 Mei 2012

*)
DIMAS ARIKA MIHARDJA, adalah pseudonym Sudaryono. Lahir, di Kulon Progo Pesisir Selatan Jogyakarta, 3 Juli 1959 dengan nama Sudaryono, ia mulai menyajak secara intens tahun 1980-an dan membukukan antologi sajak tunggal Sang Guru Sejati (1991), Malin Kundang (1993), Upacara Gerimis (1994), Potret Diri (1997) yang semuanya diterbitkan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri. Sebagian besar sajaknya dipublikasikan di media massa local dan nasional, serta dibukukan dalam antologi bersama Riak-Riak Batanghari (Teater Bohemian,1988), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi,1992,1993), Serambi 1,2&3 (Teater Bohemian,1992, 1993, 1994), Rendezvous (1993), Luka Liwa (1993), Pusaran Waktu (1994), Muaro (1995). Negeri Bayang-Bayang (1996), Mimbar Penyair Abad 21, Antologi Puisi Indonesia (1997), Angkatan 2000 (2000), Ketika Jarum Jam Lelah Berdetak (2003). Penyajak yang juga dosen Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi ini telah merampungkan Program Doktor ( S3 ) dengan disertasi Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia (2002).
(referensi Penyair Nusantara Jambi)

Jumat, 08 Juni 2012

MENYELIP DI BIBIR AMAK

Rindang restu amak memayung gerah hari
Inang nan bersetia dengan selaksa doa
Zikirku bertemu isaknya di sepenggalan malam
Alahai … jikalah demikian, jikalah demikian
Dera goda dan coba sesungguhnya tlah melena
Ingin dan butuh tiada terbeza, berlomba tanpa henti
Angan menggantungi gemawan kadang zigzag di tebaran bintang
Nun, amak menyulam pinta menyungai airmata

Ada pendar matari di poripori kabut
Deras langit nan serupa pasir tumpah, semoga tinggal sejarah
Harap amak terngiang bersama paras membayang:
Anaknya tak sekadar lilin lumer sebatang



Bengkulu, Juni 2012


CATATAN PUISI YANG BELUM JADI

aku sedang menulis puisi
jika ini puisi terakhir, semoga jadi puisi pertamaku yang kaubaca
sebelum kata-kata tinggal bangkai bunga
dan penerus kita menebak-nebak ‘tuk menamainya

di bilik ini hanya ada aku dan kata
sepotong cermin dekat jendela dan topeng
dan yang terbaring sekarat di ranjang adalah sebongkah hati

kutulis dengan kesadaran penuh meski tanpa materai sebagai pengukuh
di bilik terang ini cahaya lampu pendar di tengah
yang berkabung adalah aku, saat kata seakan menjauh dari puisi
lebih memilih berjuntai membaca yasin di pinggir ranjang
dan hanya topeng teman setia di depan cermin:
bekalku menemuimu sebagai penyair

puisi ini masih sedang kutulis jadi jangan dulu buru-buru kaubaca
nanti saja, seusai engkau galikan sepetak liang
tempat kuselesaikan bagian terakhir puisi ini

Bengkulu, 8 Juni 2012

Rabu, 06 Juni 2012

DENDAM TAK SUDAH

sajak terlalu sulit bicara padamu
hingga bersama telunjuk kupanggang sepotong ikan busuk
yang aromanya barangkali dapat memancing rindumu
di sela redupnya cahya di sebalik dada

teratai dan anggrek pensil membisu
meski adalah saksi saat kucari jalan cinta
yang rambu-rambunya mungkin kausuruk di kantong kemeja
di sela lepasnya tawa seakan tak terjadi apa-apa

lalu kutuba udara dengan lantang sila-sila ...

nada terlalu sulit 'nembus telingamu
hingga bersama remang senja kuceritakan makna kehilangan
saat daun luruh satu-satu mencipta riak telaga
: aku menjadi asap di sela paru-parumu

Bengkulu, 3 Juni 2012

Selasa, 05 Juni 2012

TERPERANGKAP

Hujan menyampaikan pesan dari langit
lewat tiap butirnya
sampai padaku jadi gigil

Aku menyebut nama-Mu
 
kusebut pula namanya
menjadi-jadi dalam gigil yang beda

Hujan menyamarkan parau teriakku
 

Teriak yang itu-itu saja 
tentang ketakpuasan rencana terbuyar
pabila-pabila, entah kenapa semakin akrab saja

Musim penghujan berbulan ke depan
 
akan ada berjuta pesan menghunjam
lewat butir-butir yang sama
dengan gigil-gigil yang beda

Kusebut nama-Mu
 
Kusebut pula namanya


Bengkulu, 11 Desember 2011

Puisi Dedikasi


LABIRIN
: Widya Arthenia

bli, labirin ini terasa begitu memusingkan
sajakku sesat terbentur-bentur
'kau berdiri serupa rambu bisu
padahal kuingin sesat bersamamu

5 Juni 2012

*) didedikasikan untuk mengingat hari kelahiran penyair Bali Widya Arthenia
RAHIM RINDU MELAHIRKAN DUA PUISI
: Eska Wahyuni

#1
Menghidu Jejak

tersangkut di cabang sengkarut
kaupuisikan waktu bagiku
mengenang perjalanan yang tak singkat
belum pula panjang
kususuri semak kata
mencari pelukmu

#2
Puisiku Berlabuh

samudra menyajikan hidangan badai di tiap pelayaran
sedang bidukku tiris, puan
terombang-ambing mencari suar
arah dermaga tertutup kabut tebal:
seharusnya puisiku berlabuh
di ujung jemarimu

Bengkulu, 5 Juni 2012

*) didedikasikan untuk mengingat hari kelahiran penyair Yogyakarta Eska Wahyuni
SENJA DI BATANGHARI
: Dimas Arika Mihardja dan Yessika Susastra

sunset terlihat begitu indah saat senja di tanggo rajo
pedagang asongan serupa pinutur nan menghibur
dan kusapa sepasang kekasih: hendak ke mana?
"menghampir tiang seribu," gegas mereka
membalas sapa

nun, entah pipit entah gereja berbaris di pelangi segaris ...

batanghari tak lelah menampung ruah sampah
deras arusnya sajak perjalanan, tempat luka berdenyut
dan racun hanyut sampai ujung tanjung jabung
berubah wujud merupa aksara nan sujud

senja di tanggo rajo, kunang-kunang memendam malu
kilau sepasang kekasih menerang remang
batanghari bersaksi: hulu ditentang, hanyut jua ke hilir
bersama sajak-sajak rindu

Bengkulu, 5 Juni 2012

*) didedikasikan untuk kawin perak DAM & Yess (sepasang kekasih puisi dari Jambi)

 
LENGANG

: Izzuddin Abdurrahim

garis saling silang melintang sesaki ruang
berharap belaianmu 'kan membentuk sebingkai rupa
bersama detak jam dinding nan lantang bersipongang

benang kusut masih jua tak bertemu ujung
sedang riuh bibir-bibir berebut sajikan telunjuk
dalam ruangan gaduh aku pun mabuk angin

pesta tak berjudul menambah sengkarut
bilik tapa telah penuh garis dan benang tak keruan
tetabuhan gendang bak ribut tangis bocah

"di mana segumpal darah itu tercecer?"

aku mengkerut di sudut biasa: gigil menunggumu

Bengkulu, 07 Juni 2012

* bingkisan sederhana di hari kelahiran penyair Izzuddin Abdurrahim



Sabtu, 02 Juni 2012

BILIK REMUK

tak ada rumah dalam istirah senjaku. tiap halaman menyerak bara
sebelum salam. maka kubangun sebuah bilik sederhana. kaca bening
sebagai kanvas napas. bertiang enam kurus-kurus. lalu kuberdiam
bersama seonggok puntung selama peminuman bergelas candu hitam.
cinta, caci maki, rindu, racun ludah, ruah menghentak dinding.
fakirlah alamat malam.

jika saja badai hampir, hanya tiang yang 'kan tersisa. sedang aku
hanya sanggup meratap di sudut berlumut.

Bengkulu, 1 Juni 2012