Sabtu, 09 Juni 2012

Seberkas Cahaya

Esai "Pembacaan Puisi"
dapat dibaca di ((klik di sini))

SEBERKAS CAHAYA
_sebuah tulisan ringan setelah membaca SKETSA SAJAK karya Dimas Arika Mihardja*)


Pusing. Itu adalah hal pertama yang saya rasakan seusai membaca tuntas SKETSA SAJAK-nya penyair Dimas Arika Mihardja (selanjutnya ditulis DAM). Mata saya diterjang ribuan kata. Secara keseluruhan, diksi dalam SKETSA SAJAK tidaklah rumit, sederhana namun terasa dan berasa.
Awalnya saya merasa lucu, begitu banyak gaya yang dipakai oleh seorang DAM dalam bersajak. Hal ini biasanya merupakan ciri penyair pemula. Ada yang bermain-main dengan tipografi, ada yang memenggal sebuah judul untuk kemudian diurai dalam beberapa bait, ada juga yang masih kental ciri puisi lamanya.
Ternyata setelah membaca kembali, saya malah dengan gampang menangkap ciri sajaknya DAM. Menurut saya, sajak DAM mempunyai ciri pengulangan kata yang nyaris sebunyi atau mirip penulisan demi kepentingan menjaga rima. Ciri yang juga jarang dipakai penyair lain adalah memenggal judul menjadi beberapa bagian untuk kemudian diurai menjadi bait-bait yang saling berkaitan dan sama kuat.
Sajak spontan pun sajak dedikasi ditulis dengan cukup baik, hal ini membuktikan, hal apa saja bagi DAM dapat menjadi sajak bermakna. Secara keseluruhan pula, saya dapat menangkap kebiasaan DAM menulis sajak impresif berdasarkan kesan yang didapatnya akan suatu peristiwa, momen atau kesan terhadap sebuah objek apa pun itu.

Di antara sekian banyak sajak di SKETSA SAJAK ini, saya tertarik untuk membaca berulang sebuah sajak yang saya anggap sebagai “Seberkas Cahaya”. Berikut sajak tersebut:

PUISI MEKAR DI ANTARA KELOPAK MAWAR YANG MEMAR

[PUISI MEKAR)
di taman depan rumah
di antara rumput dan rumpun rimbun
berayun-ayun di ujung daun sebagai embun
lalu bersijingkat di segala serat dan urat daun
tersenyum ranum

apakah kalian cium aroma aura-Nya?

puisi mekar sebagai sayap doa
menjeritkan harap dan cemas waktu
merindu

[DI ANTARA KELOPAK MAWAR]
adakah kalian dengar nyanyian rama-rama
mengalun dari daun ke daun, berjingkrak dari kelopak
ke kelopak? nyanyian dan tariannya begitu rampak
dalam iringan rampak rebana

apakah kalian cium aroma-Nya?

bibir merah puisi itu pun membasah
dibasuh dan diasuh oleh jemari kasih sayang tak berbilang
selalu mengelombangkan irama tembang kasmaran
[YANG MEMAR]

14/11/2011


Mengapa sajak ini yang mencuat sebagai serupa seberkas cahaya bagi saya? Dalam sajak inilah DAM tampil dengan segala cirinya yang tadi telah disebut di atas. Selain itu, pesan yang tertangkap dalam sajak ini begitu jelas menunjukkan bahwa hari-hari DAM itu adalah puisi atau jika tak terlalu berlebihan, bolehlah saya sebut DAM itu puisi.

[PUISI MEKAR] demikian penggalan pertama judul sajak ini. Penggalan ini kemudian diurai sebagai bagian awal sajak. Puisi, ya hampir setiap hari di group puisi BPSM atau di nyata, DAM secara langsung atau tidak menjadi saksi bagi tumbuh kembang begitu banyak penyair dan tentu menjadi saksi pula bagi bermekarannya banyak puisi. Dalam bait pertama ini DAM menggambarkan puisi-puisi yang bermekaran tersebut:

puisi mekar sebagai sayap doa
menjeritkan harap dan cemas waktu
merindu

Lalu terselip pula yang sebenarnya merupakan harapan seorang DAM akan puisi yang hendaknya juga memancarkan aroma-Nya: “apakah kalian cium aroma aura-Nya?”
Dalam bait awal ini pula, secara teknis bersajak, DAM menampilkan cirinya yang menjaga rima dengan memilih kata yang mirip bunyi dan atau penulisan, lihatlah larik kedua sampai akhir bait:

di antara rumput dan rumpun rimbun
berayun-ayun di ujung daun sebagai embun
lalu bersijingkat di segala serat dan urat daun
tersenyum ranum

[DI ANTARA KELOPAK MAWAR] adalah penggalan kedua yang kemudian diurai tentang (masih) puisi-puisi yang tadi bermekaran tersebut membentuk nyanyian dan tarian tersendiri. Lalu mengapa disebutkan mawar? Tentu karena lengkapnya “diri” mawar jika dipakai sebagai simbol suasana tumbuh kembangnya sebuah puisi: wangi, cerah dengan warna (merah)nya dan juga berduri (sebagai simbol hati-hati dan juga penjagaan).
Bagi seorang DAM, puisi tidak dilepas begitu saja dengan tumbuh kembangnya tersebut, dengan nyanyian dan tariannya, tetapi tetap dijaganya dengan kasih sayang (terutama puisi yang mekar di BPSM). Dalam penggalan kedua ini, kembali ciri diksi mirip dan nyaris sebunyi dimunculkan demi menjaga tone sajaknya (rima disebar dengan cukup rata dan di tempat yang tepat).
Boleh dibaca dan dilihat kata-kata yang saya maksud tersebut … dan lagi-lagi, DAM menyertakan pengulangan dengan sedikit modifikasi pada larik: “apakah kalian cium aroma-Nya?”. Pengulangan ini semacam penegasan kegelisahan DAM akan puisi yang cenderung “mawar” saja hingga melupakan pesan kontemplasi.

Lalu sajak ini ditutup dengan [YANG MEMAR]. Penggalan ini berdiri sendiri dan tentu memunculkan ambigu. Bolehlah saya menerjemahkannya sebagai penutup begini: puisi yang mekar dan hanya beraroma mawar akan tumbuh tidak sehat, tentulah akan memar pada tubuhnya. Hahaha … ini hanya kesimpulan ngawur karena saya telah benar-benar pusing membaca SKETSA SAJAK yang beraneka rupa dan rasa ini. Silakan merasakan sendiri, tenggak sendiri tuaknya lalu mabuklah sendiri.

Salam.

Rizadian Adha

24 Mei 2012

*)
DIMAS ARIKA MIHARDJA, adalah pseudonym Sudaryono. Lahir, di Kulon Progo Pesisir Selatan Jogyakarta, 3 Juli 1959 dengan nama Sudaryono, ia mulai menyajak secara intens tahun 1980-an dan membukukan antologi sajak tunggal Sang Guru Sejati (1991), Malin Kundang (1993), Upacara Gerimis (1994), Potret Diri (1997) yang semuanya diterbitkan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri. Sebagian besar sajaknya dipublikasikan di media massa local dan nasional, serta dibukukan dalam antologi bersama Riak-Riak Batanghari (Teater Bohemian,1988), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi,1992,1993), Serambi 1,2&3 (Teater Bohemian,1992, 1993, 1994), Rendezvous (1993), Luka Liwa (1993), Pusaran Waktu (1994), Muaro (1995). Negeri Bayang-Bayang (1996), Mimbar Penyair Abad 21, Antologi Puisi Indonesia (1997), Angkatan 2000 (2000), Ketika Jarum Jam Lelah Berdetak (2003). Penyajak yang juga dosen Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi ini telah merampungkan Program Doktor ( S3 ) dengan disertasi Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia (2002).
(referensi Penyair Nusantara Jambi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar